Aku mengenalnya lebih dai setahun yang lalu. Mencoba mendekatkan
diri karena satu profesi sebagai abdi desa namun hanya berbeda lokasi tugas. Bertemu
lebih dari sekal dalam sebulan, bertemu dan berkomunikasi dengan baik membuat
keakraban itu semakin intens dan dekat. Segala cerita mengalir bersama waktu
yang terus berpacu, segala tawa tercipta diantara tangis dan air mata. Aku menikmati....
sangat menikmati segara perhatian dan kasih sayang yang kuanggap lebih dari
sekedar teman, yang kuharap mampu membuatku bisa berjalan seiring dengannya.
Bebrapa bulan dekat, satu kejadian membuat ego kami
membuncah, pertengkaran hebat pun tak terelakkan. Segla sedih, segala rasa
menyeruak tak terkendali. Berbagai cara untuk meredam.. namun aku kalah dengan
keadaan. Ego membuatnya semakin beraktakan. Hari-hari yang terlewati semakin
menyiksa, tanpa sapa, tanpa salam, tanpa tatapan apalagi perhatian. Semuanya sirna
seiring amarah yang tak terkendali. Aku menyerah.... menyerah untuk memperbaiki
segala keadaan yang pernah mati-matian untuk kukembalikan.
Tapi Allah berkata lain, memalui orang2 terkasih mencoba
menyatukannya kembali... yang terserak itupun kembali terhimpun, yang awalnya
dingin kembali hangat bahkan semakin hangat. Rasa itu pun kembali, kembali
menyeruak untuk bertahan hingga memimpikan sebuah masa depan bersama. Rasa yang
seharusnya tak ada, rasa yang mestikan mampu dikendalikan dari segala sifat dan
sikap yang ku tau tentangnya, tentang hari-harinya, tentang lakunya dan semua
tentang hitam putihnya. Namun...
lagi2 aku gagal.. aku tak kuasa memendung segala rasa. Hingga akhirnya apa yang paling aku takutkan
terjadi, dia lebih memilih yang lain dibandingkan aku yang selalu ada di
sisinya. Mungkin dia tak menyadarinya, atau hanya menganggap keakraban selama
ini hanyalah sebuah pertemanan biasa. Namun, bagaimana dengan mimpi2 itu?? Yang
pernah kami bahas disepanjang malam, yang selalu kami ceritakan disetiap waktu
bersama.... akan kah hanya sebatas angan bersama?? Atau hanya cerita cinta
segitiga dalam film india antara kajol – rahul dan anjeli??
Malam terakhir kami bertemu, kusampaikan segala rasa yang
ada . kuutarakan segala apa yang selalu membuatku bertahan disisinya, yang
mungkin saja dia tidak tau. Atau pura-pura tak tau. Yang bisa saja dia tidak
ingin tau, tapi aku tau jika dia tau akan semuanya. Kulepaskan semua apa yang
ada di hati, tanpa berharap apapun selain dari semoga aku lega setelah ini.
Aku sakit, aku patah, aku terserak.. berantakan... entah
telah berapa banyak air mata ini jatuh yang tak tertahan, entah berapa banyak
waktu yang terbuang untuk meratapi segala rasa yang menyiksa. tak kuasa aku
hadapi hari nya.. hari yang membuatnya bahagia dan membuatku jatuh terserak. Aku
memilih meninggalkan kota itu dan lari dari kenyataan bahwa semuanya sudah
usai, kenyataan pahit itu harus dihadapi dengan segala rasa. Melalui seorang
teman kukirimkan lagu “titip cinta” sebagai sebuah ungkapan rasa yang selama
ini menggema di raga yang tak mampu ku urai satu per satu.
Aku hanya bisa menangis, tak mampu lagi menahan air mata
yang turun ketika pagi itu masih menyempatkan diri untuk video call via WA. Semoga
dia bahagia, bahagia dengan segala pilihannya, bahagia dengan dia yang semoga
lebih baik dariku. Dan aku harus bisa kembali dari liburan ini dengan lebih
baik. Aku tidak ingin kembali mengingat semuanya, aku tidak ingin lagi menangis
untuknya.. aku harus kuat dengan segala yang terjadi terhadapku. Mungkin memang
ini yang terbaik yang harus aku lalui saat ini.. meski kurasa setengah mati. Mencoba
untuk tidak lagi peduli terhadapnya, mencoba untuk semuanya biasa-biasa saja
jika akhirnya kami kembali dipertemukan.
Semingu berlalu, rasa yang kupunya tak jua kunjung berubah. Serasa
mimpi ketika aku mengingat segala yang terjadi minggu kembali, belum percaya
jika saat ini dia telah memutuskan untuk hidup bersama dengan yang lain. Ada komitmen
yang kami sepakati jika semuanya tak akan merubah silaturrahmi, jika semuanya
tetap akan seperti apa yang terjadi. Ahh....
aku tak percaya... tetap akan ada beda, tak akan ada lagi kisah telpon hingga
subuh, atau duduk dan jalan bersama. Itu pasti, akan ada rasa canggung dengan
sendirinya.
Seminggu berlalu, aku tetap dengan aku yang rapuh, yang
memcoba bertahan dari hari ke hari, mencoba untuk tidak lagi menitikkan air
mata, mencoba untuk tidak lagi membahasnya, mencoba untuk tetap tersenyum dan
mencoba bertahan untuk bersembunyi dalam perih.
Semoga kamu berbahagia dengan pilihan hidupmu.... semoga ini
yang terbaik untukmu, untukku dan untuk kita... aku masih bingung untuk
menentukan arah dan langkahku tentangmu... semoga kedewasaan yang kita sepakati
bersama tidk membebaniku dalam menjalani hidup... aku ingin tetap
bersilaturrahmi denganmu, meski sebenarnya tidak lah baik, meski sebenarnya
justru membuatku semakin sakit dan perih... tapi untuk kehilanganmu saat ini
aku belum sanggup. Entahlah.. mungkin rasa yang aku punya padamu sangatlah
dalam, asa yang kubina bersamamu membuat aku tenggelam dalam duka yang tak
berkesudahan.
Aku pasrahkan segalanya pada Tuhan, tentang aku, tentang kau
dan tentang kita. Pun akhirnya kita tetap masih bisa bersilaturrahmi, mungkin
itu aladah sebuah kedewasaan, jikapun sebaliknya mungkin itu adalah keputusan
Tuhan untuk kebaikan semuanya.
Aku hanya ingin dia tau.. aku tak
lagi ingin mempermasalahkan apa-apa yang sudah dibuatnya patah, tak juga
mengungkit apa-apa yang terlanjur sakit. Hanya saja yang harus dia tau yang dia
mainkan bukan hal yang sepatutnya dipermainkan, apa yang da tinggalkam bukan
hal yang mudah untuk kutanggalkan.
Biarkan aku seperti ini.. semuanya aku serahkan pada Sang
Pemilik Hidup. Tak ada yang sia-sia didunia, semuanya pasti ada hikmah yang
membuat kita bersyukur berada dalam kondisi ini.
Tabir, 07 April 2018 23 :38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar