Rabu, 30 Januari 2008

Ketika Anak Negeri meradang di perbatasan Indonesia

Sudah menjadi hal yang biasa ketika ruang media dihiasi berita tentang raibnya pulau-pulau kecil dan terluar indonesia, atau munculnya pengakuan kepemilikan lagu-lagu daerah khas Indonesia, bahkan angklung yang mungkin saja sebentara lagi akan menjadi milik Malaysia.

Jika sebuah lembaga Internasional seperti UNESCO kelak memenuhi keinginana malaysia untuk melegalkan angklung sebagai budaya ciptaan Malaysia, maka tidak berlebihan kalau bisa dikatakan Indonesia sesungguhnya telah terjajah perlahan0lahan oleh arogansi sebuah negara kecil yang boleh dikatakan seukuran panu pada tubuh kerbau.

Tapi ini realitas, dimana konsekwensi hidup bertetangga dalam bingkai sebuah bangsa akan pasang surut dalam tarikan konflik kepentingan batas-batas wilayah, budaya, bahkan mungkin hasil karya seni. Memang bangsa kita terlalu luas dan terlampau besar untuk bisa menjaga tiap jengkal tanahnya dari penjarahan politik atas nama klaim kepemilikan wilayah. Batas-batas negara meskipun telah diatur, tetap saja memiliki kemungkinan untuk dicaplok oleh negeri tetangga kita.

Pemerintah sesungguhnya kewalahan dan tidak berdaya dengan situasi seperti ini, dan pemerintah kita tidak mau jujur kalau kita negara besar seperti gajah tapi dikibulin oleh Malaysia yang kecil seperti semut. Kita bahkan menahan diri karena takut berhadapan dengan malaysia yang notabene negara satelit Inggris.

Lantas mestikah kita hanya terpaku, meradang takdir tanpa kemudian berbuat?? Ini sesungguhnya bukan soal sederhana. Mempertanyakan nasionalisme lagi-lagi akan jadi kata kunci penbicaraan kita jika wacana pergumulan kita menyentuh ranah kepentingan nasional. Tapi apakah nasionalisme bisa dilahirkan dari berharap dan berkhayal?? Tentu tidak mungkin, karena tiap detik penantian dan sikap menunggu adalah sebuah kekalahan.

Dan pengalamanpun berbicara, ketika mengikuti pelayaran kebangsaan VII bulan Juni 2007 lalu, kami singgah di Atambua perbatasan Timor Leste dengan Negara Indonesia. Ini adalah salah satu bentuk dari rasa nasionalisme yang dimiliki 155 mahasiswa dari seluruh tanah air yang terjun langsung melihat kondisi eks pengungsi Timtim yang memilih NKRI sebagai negara kesatuannya, yang tak dapat kita pungkiri nasionalisme saudara-saudara kita diperbatasan sana akan terbeli oleh negeri tetangga dan tergadaikan oleh frustasi penbangunan yang pilih kasih.

Adalah sebuah kenyataan bahwa hampir semua warga negara Indonesia yang tinggal di perbatasan memiliki potensi untuk berpaling dari kesadaran nasionalisme palsu yang kita dengungkan saat ini. Nasionalisme Non sen kalau orang diperbatasan tidak disejahterakan, mana mungkin kita berharap mereka merasa bangga untuk mati demi bangsanya.

Memang saat ini pemerintah SBY tengah sibuk memikirkan modernisasi ALUTSISTA (peralatan Sistem Pertahanan), bahkan membangun pangkalan militer bari dibeberapa wilayah perbatasan, namun itu saja tidak cukup dengan semangat sekelompok tentara atau diplomasi para eksekusi berdasi. Moralitas perlawanan rakyat adah kunci ketahan sebuah bangsa.

Tapi jika moralitas ini tidak ditopang dengan penguatan nasionalisme dalam bingkai kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak rakyat, jangan bermimpi kalau bangsa ini akan baik-baik saja.

Langkah kagiatan peserta Pelayaran kebangsaan VII yang berusaha lebih mengenal pulau-pulau terpencil kepulauan nusantara mungkin bukan solusi seutuhnya, namun jika langkah ini dibingkai dengan doa dan harapan, ditambah dengan semua anak bangsa mau berbuat semampunya seoptimal mungkin untuk bangsa, pasti kita akan tetap menjadi bangsa yang cerita sejarahnya penuh dengan kemegahan dan kebanggaan. Saya, anda na kita semua tentu tidak mau dicap segabai orang sial dan tumbuh di dalam sebuah bangsa yang bebal bukan???.... Semoga.

Tidak ada komentar: